Kisah ini dialami seorang aktivis muslim. Di akhir masa kuliahnya, ia sangat aktif di beberapa kajian. Selain itu, ia selalu mendapat panggilan sebagai nara sumber (penceramah utama) di berbagai seminar. Di tengah kesibukannya, namanya masih terdaftar pada posisi strategik di organisasi mahasiswa. Terkadang ia menyedari mutu kesungguhan ibadahnya mulai tak seimbang dengan kesibukan kegiatannya. Malah kenikmatan spiritualnya makin hambar kerana sering terganggu dengan fikiran sibuk yang selalu mengejarnya.
Namun kerana keruntuhan ruhiyyah yang terus merudum, ia mulai terjatuh di pinggiran landasan perjuangan yang pernah dibangun bersama teman-temannya. Kini idealismenya pupus ditelan kesibukannya.Kisah seperti ini sudah menjadi satu fenomena. Namun kita tidak berkemampuan untuk mengeksploitasi fakta-fakta yang ada. Yang menjadi sorotan adalah kenapa masalah ini semakin menggejala. Kenapa dengan maksud bergiat utk memperbaiki umat, malah militansi (kesungguhan) ibadah tergadaikan? Bila hal ini terus berlanjut, tentunya keindahan Islam tak akan tampak kerana aktivisnya hanya bergantung kepada kata-kata ansich. Tak ubahnya seperti pedagang nasi yang baju dan tangannya penuh dengan rona-rona kotor dan bau. Siapa yang mahu beli ? Paling tidak, ada beberapa faktor yang harus dipertajam ketika aktiviti sudah mulai memburu para aktivis dakwah. Pertama, ladang dakwah adalah arena mencari redha Allah swt. Bila ini menjadi sebuah kata kunci, kita akan mampu terus membuka ladang baru dengan kunci ini. Sebaliknya, bila kunci patah atau hilang dari benak kita, berhati-hatilah, petaka pasti akan terjadi.
Ladang itu akan berubah menjadi ladang pembantaian ruhiyyah kita. Sebagaimana nasihat Rasul SWT bahwa dunia itu ladangnya hari akhirat. Maka upaya para aktivis dalam mengelola ladangnya adalah dengan mematuk setiap jengkal tanah dan menanamnya dengan bibit (benih) unggul berlabelkan ‘Allah oriented’. Jangan beri kesempatan hama-hama perosak itu mendapat bahagian hidupnya di ladang kita.
Kita ingat benar dengan perasaan Hanzhalah ra yang merasa munafik kerana ketika menggarap ladangnya ia terkadang lupa dengan pesan-pesan Rasul SAW yang selalu mengingatkan kepada syurga dan neraka. Hal ini diadukan kepada sahabatnya Abu Bakar ra, yang ternyata menemukan kes yang serupa. Akhirnya beliau berdua mengadu kepada Rasul SAW yang dijawab dengan, “…akan tetapi sa’ah wa sa’ah.” Maksudnya, bagilah waktumu agar ada saat untuk ini dan ada saat untuk itu. Alangkah baiknya bila perasaan Hanzhalah ra ini bisa mengalir pada setiap aktivis melalui getaran-getaran jiwanya ketika ia mulai menggarap ladangnya.Kedua, selalu bercermin kepada orang-orang soleh pendahulu kita. Kerana mereka adalah orang-orang sibuk yang waktu tidurnya tergadaikan untuk membina umat.
Sebut saja cerita yang disampaikan Ibnul Qasim, salah satu ulama fikih di Mesir yang wafat tahun 191 H, “Aku pernah mendatangi Imam Malik sebelum waktu fajar. Kutanyakan kepadanya tentang dua masalah, tiga masalah, empat masalah, dan saya benar-benar melihatnya dalam suasana lapang. Kemudian aku mendatanginya hampir setiap waktu sahur. Terkadang kerana lelah, mataku terkatup dan aku tertidur. Ketika Imam Malik keluar dari masjid, aku tidak mengetahuinya. Kemudian aku dibangunkan oleh pembantunya sambil mengatakan, “Gurumu tidak tertidur seperti kamu. Padahal saat ini usianya telah mencapai empat puluh sembilan tahun. Setahuku ia nyaris tidak pernah shalat shubuh kecuali dengan wudhuk yang dipakai dalam shalat isya. ” (Tartibul Madarik,3/250)
Ada lagi cerita salah seorang salafus soleh yang mengatakan, “Aku pernah bangun pada waktu sahur untuk mempelajari Alqur’an pada Ibnu Akhram, seorang ulama Damaskus. Tapi ternyata kehadiranku telah didahului oleh sekitar tiga puluh orang. Dan aku belum memperoleh giliran sampai datang waktu ashar.” (Nuzhatul Fudhola, 2/1145).Akhirnya, membaca dan menelaah hidup para salafussoleh itu perlu, kerana mampu membangkitkan semangat baru dalam diri kita. Juga, membaca peri kehidupan mereka itu sama halnya dengan berziarah dan berhadapan dengan mereka, sehingga kita pun dapat barakah dari Allah kerananya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahulah, ” Aku berlindung kepada Allah dari peri hidup orang-orang yang tidak punya cita-cita tinggi hingga bisa diteladani orang lain, yang tidak mempunyai sikap wara’ yang bisa ditiru oleh orang yang ingin berzuhud demi Allah. Hendaklah kalian mencermati perilaku suatu kaum, mendalami sifat dan kisah tentang mereka. Kerana memperbanyak meneliti kitab-kitab mereka adalah sama dengan melihat mereka. Bila engkau mengatakan telah mendalami dua puluh ribu jilid buku, bererti engkau telah melihat mereka melalui kajianmu terhadap tingkat semangat mereka, kepandaian mereka, ibadah mereka, keistimewaan ilmu mereka yang tak pernah diketahui orang yang tidak pernah membacanya.”( Qimatuzzaman indal Ulama :31 ).
Ketiga, ketika beraktiviti, kita memerlukan tenaga yang merupakan satu kepentingan untuk menjamin keberlangsungan acara tersebut. Tenaga itu merangkumi spiritual dan fizikal. Sedangkan tenaga spiritual adalah sebagai parameternya. Bila spiritual itu meningkat, secara automatik-nya tenaga fizikal akan terus mengimbanginya sampai ke puncak yang sewajarnya. Kalau istilah Syeikh Ahmad Rasyid, “.. sampai lutut-lutut itu bergetar.” Atau peribahasa lain mengatakan “Kanzi.. ‘ajzi” (Sampai yang di gudangku itu habis di situlah kelemahanku). Untuk mendapatkan daya hidup itu, setidak-tidaknya harus ada sebuah tradisi spiritual khas yang dijadikan kesenangan dan kegembiraan jiwa. Sehingga jiwa ini penuh dengan daya hidup. Kemampuan fizik dalam melakukan sesuatu perbuatan juga akan turut sama meningkat.
Contoh yang sering kita dengar ialah kisah Imam Ibnu Taimiyyah. Ketika beliau berjihad melawan Tartar, kemampuan fizik beliau sangat tinggi melebihi rata-rata, sementara para mujahidin yang lainnya mulai melemah kehabisan tenaga. Melihat hal itu mereka bertanya kepada Imam,”Apakah rahsianya..?”. Beliau menjawab, “Ini adalah buah ma’tsurat yang selalu saya baca di pagi hari setelah sholat shubuh sampai terbitnya matahari. Saya selalu menemukan kekuatan yang sangat dahsyat setiap melakukan wirid itu. Tapi jika saya tidak melakukannya, saya akan merasa seperti lumpuh pada hari itu.” Demikianlah tenaga dahsyat itu didapatinya dari sebuah wirid yang sudah menjadi tradisi spiritual khas pada setiap pagi dan petang.Justeru, setiap aktivis mampu menjaga beberapa tradisi spiritual khas, sesuai dengan kegembiraan hatinya dalam menikmati tradisi itu.Akhirnya, kita berharap semoga kita yang mungkin termasuk membawa bendera dakwah ini bisa menjaga militansi (kesungguhan) ibadah kita seperti para pendahulu kita yang tetap bersungguh-sungguh dalam bergerak.
Sumber : Paksi.net
Namun kerana keruntuhan ruhiyyah yang terus merudum, ia mulai terjatuh di pinggiran landasan perjuangan yang pernah dibangun bersama teman-temannya. Kini idealismenya pupus ditelan kesibukannya.Kisah seperti ini sudah menjadi satu fenomena. Namun kita tidak berkemampuan untuk mengeksploitasi fakta-fakta yang ada. Yang menjadi sorotan adalah kenapa masalah ini semakin menggejala. Kenapa dengan maksud bergiat utk memperbaiki umat, malah militansi (kesungguhan) ibadah tergadaikan? Bila hal ini terus berlanjut, tentunya keindahan Islam tak akan tampak kerana aktivisnya hanya bergantung kepada kata-kata ansich. Tak ubahnya seperti pedagang nasi yang baju dan tangannya penuh dengan rona-rona kotor dan bau. Siapa yang mahu beli ? Paling tidak, ada beberapa faktor yang harus dipertajam ketika aktiviti sudah mulai memburu para aktivis dakwah. Pertama, ladang dakwah adalah arena mencari redha Allah swt. Bila ini menjadi sebuah kata kunci, kita akan mampu terus membuka ladang baru dengan kunci ini. Sebaliknya, bila kunci patah atau hilang dari benak kita, berhati-hatilah, petaka pasti akan terjadi.
Ladang itu akan berubah menjadi ladang pembantaian ruhiyyah kita. Sebagaimana nasihat Rasul SWT bahwa dunia itu ladangnya hari akhirat. Maka upaya para aktivis dalam mengelola ladangnya adalah dengan mematuk setiap jengkal tanah dan menanamnya dengan bibit (benih) unggul berlabelkan ‘Allah oriented’. Jangan beri kesempatan hama-hama perosak itu mendapat bahagian hidupnya di ladang kita.
Kita ingat benar dengan perasaan Hanzhalah ra yang merasa munafik kerana ketika menggarap ladangnya ia terkadang lupa dengan pesan-pesan Rasul SAW yang selalu mengingatkan kepada syurga dan neraka. Hal ini diadukan kepada sahabatnya Abu Bakar ra, yang ternyata menemukan kes yang serupa. Akhirnya beliau berdua mengadu kepada Rasul SAW yang dijawab dengan, “…akan tetapi sa’ah wa sa’ah.” Maksudnya, bagilah waktumu agar ada saat untuk ini dan ada saat untuk itu. Alangkah baiknya bila perasaan Hanzhalah ra ini bisa mengalir pada setiap aktivis melalui getaran-getaran jiwanya ketika ia mulai menggarap ladangnya.Kedua, selalu bercermin kepada orang-orang soleh pendahulu kita. Kerana mereka adalah orang-orang sibuk yang waktu tidurnya tergadaikan untuk membina umat.
Sebut saja cerita yang disampaikan Ibnul Qasim, salah satu ulama fikih di Mesir yang wafat tahun 191 H, “Aku pernah mendatangi Imam Malik sebelum waktu fajar. Kutanyakan kepadanya tentang dua masalah, tiga masalah, empat masalah, dan saya benar-benar melihatnya dalam suasana lapang. Kemudian aku mendatanginya hampir setiap waktu sahur. Terkadang kerana lelah, mataku terkatup dan aku tertidur. Ketika Imam Malik keluar dari masjid, aku tidak mengetahuinya. Kemudian aku dibangunkan oleh pembantunya sambil mengatakan, “Gurumu tidak tertidur seperti kamu. Padahal saat ini usianya telah mencapai empat puluh sembilan tahun. Setahuku ia nyaris tidak pernah shalat shubuh kecuali dengan wudhuk yang dipakai dalam shalat isya. ” (Tartibul Madarik,3/250)
Ada lagi cerita salah seorang salafus soleh yang mengatakan, “Aku pernah bangun pada waktu sahur untuk mempelajari Alqur’an pada Ibnu Akhram, seorang ulama Damaskus. Tapi ternyata kehadiranku telah didahului oleh sekitar tiga puluh orang. Dan aku belum memperoleh giliran sampai datang waktu ashar.” (Nuzhatul Fudhola, 2/1145).Akhirnya, membaca dan menelaah hidup para salafussoleh itu perlu, kerana mampu membangkitkan semangat baru dalam diri kita. Juga, membaca peri kehidupan mereka itu sama halnya dengan berziarah dan berhadapan dengan mereka, sehingga kita pun dapat barakah dari Allah kerananya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahulah, ” Aku berlindung kepada Allah dari peri hidup orang-orang yang tidak punya cita-cita tinggi hingga bisa diteladani orang lain, yang tidak mempunyai sikap wara’ yang bisa ditiru oleh orang yang ingin berzuhud demi Allah. Hendaklah kalian mencermati perilaku suatu kaum, mendalami sifat dan kisah tentang mereka. Kerana memperbanyak meneliti kitab-kitab mereka adalah sama dengan melihat mereka. Bila engkau mengatakan telah mendalami dua puluh ribu jilid buku, bererti engkau telah melihat mereka melalui kajianmu terhadap tingkat semangat mereka, kepandaian mereka, ibadah mereka, keistimewaan ilmu mereka yang tak pernah diketahui orang yang tidak pernah membacanya.”( Qimatuzzaman indal Ulama :31 ).
Ketiga, ketika beraktiviti, kita memerlukan tenaga yang merupakan satu kepentingan untuk menjamin keberlangsungan acara tersebut. Tenaga itu merangkumi spiritual dan fizikal. Sedangkan tenaga spiritual adalah sebagai parameternya. Bila spiritual itu meningkat, secara automatik-nya tenaga fizikal akan terus mengimbanginya sampai ke puncak yang sewajarnya. Kalau istilah Syeikh Ahmad Rasyid, “.. sampai lutut-lutut itu bergetar.” Atau peribahasa lain mengatakan “Kanzi.. ‘ajzi” (Sampai yang di gudangku itu habis di situlah kelemahanku). Untuk mendapatkan daya hidup itu, setidak-tidaknya harus ada sebuah tradisi spiritual khas yang dijadikan kesenangan dan kegembiraan jiwa. Sehingga jiwa ini penuh dengan daya hidup. Kemampuan fizik dalam melakukan sesuatu perbuatan juga akan turut sama meningkat.
Contoh yang sering kita dengar ialah kisah Imam Ibnu Taimiyyah. Ketika beliau berjihad melawan Tartar, kemampuan fizik beliau sangat tinggi melebihi rata-rata, sementara para mujahidin yang lainnya mulai melemah kehabisan tenaga. Melihat hal itu mereka bertanya kepada Imam,”Apakah rahsianya..?”. Beliau menjawab, “Ini adalah buah ma’tsurat yang selalu saya baca di pagi hari setelah sholat shubuh sampai terbitnya matahari. Saya selalu menemukan kekuatan yang sangat dahsyat setiap melakukan wirid itu. Tapi jika saya tidak melakukannya, saya akan merasa seperti lumpuh pada hari itu.” Demikianlah tenaga dahsyat itu didapatinya dari sebuah wirid yang sudah menjadi tradisi spiritual khas pada setiap pagi dan petang.Justeru, setiap aktivis mampu menjaga beberapa tradisi spiritual khas, sesuai dengan kegembiraan hatinya dalam menikmati tradisi itu.Akhirnya, kita berharap semoga kita yang mungkin termasuk membawa bendera dakwah ini bisa menjaga militansi (kesungguhan) ibadah kita seperti para pendahulu kita yang tetap bersungguh-sungguh dalam bergerak.
Sumber : Paksi.net